Friday, August 03, 2012

10 Tahun di Jerman

Kemarin, gue merayakan tahun ke-sepuluh gue tinggal di Jerman. Tempat yang dulu terasa asing, pelan2 tak terasa asing lagi. Dan tempat yang dulu rasanya "tanah air", pelan2 terasa menjadi asing.

Sepuluh tahun memang waktu yang lama, tapi terasa cepat berlalu. Bahasa Jerman yang dulu belepotan pun, sekarang masih belepotan tapi sudah jauh lebih mendingan. Begitu juga dengan kebiasaan2 yang dulu melekat waktu masih di tanah air, pelan2 menghilang menjadikan kebiasaan2 baru. Manusia memang mahluk yang paling bisa beradaptasi.

Pertanyaan yang belakangan ini sering gue terima adalah "kapan pulang abis?". Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, karena semuanya masih "open". Kami masih merasa nyaman tinggal di sini, tapi tak mao menutup kemungkinan2 dan kesempatan2 yang lebih baik yang ada di tanah air, atau di luar Jerman.

Pertanyaan berikutnya (yang tak kalah sering) adalah "kenapa ga pindah warga negara saja?". Mungkin pandangan kebanyakan orang Indonesia adalah mempunyai kewarganegaraan di negara2 maju adalah suatu "kelebihan" dan "kebanggaan" tersendiri. Di pihak lain, banyak juga yang mencibir orang yg pindah warga negara dengan tuduhan2 "pengkhianat".

Indonesia merupakan negara yang tidak menyetujui kewarganegaraan ganda. Jadi jika ingin menjadi warga negara lain, maka orang tersebut harus melepaskan kewarganegaraan Indonesia-nya. Banyak yang bilang selama masih punya KTP di Indonesia, semua itu gak akan menjadi masalah. Tapi bukankah itu termasuk pemalsuan dokumen? Banyak orang terlalu menganggap remeh resiko itu. Mungkin di Indonesia hukum bisa dibeli dengan uang, tapi di Jerman tidak bisa seperti itu.

Intinya, gue akan tetap menjadi warga negara Indonesia, sampai saatnya tiba untuk mengganti kewarganegaraan. Mungkin saat itu akan tiba, mungkin juga tidak. Semua itu tergantung dari keputusan kita nanti untuk pertanyaan sebelumnya: "stay di Jerman, atau pulang ke tanah air? atau mungkin ke negara lainnya lagi?"

Semua tempat mempunyai positif dan negatifnya. Jadi kalau ada yang bertanya "enakan di Jerman atau di Indonesia?", gue cuman bisa jawab "dua2nya ada enaknya dan gak enaknya". Untuk bisa hidup nyaman di suatu tempat memang selalu membutuhkan kemampuan beradaptasi dengan kultur yang ada. Yang tadinya gak enak bisa menjadi enak, begitu juga sebaliknya.

Intinya, sepuluh tahun di sini membuat gue bisa melihat dunia dari sisi yang lain, merasakan kenyamanan2 yang bisa dirasakan di negara maju (misalnya keteraturan dan rasa aman), berkutat dengan ribetnya birokrasi, melihat kehangatan orang Jerman dibalik kekakuan mereka dan bisa melihat segala sesuatu di sudut pandang mereka, lebih berani melakukan segala sesuatu sendiri atau mencoba segala sesuatu yang baru, terbiasa hidup tanpa bergantung dengan pembantu (walau rumah kadang jadi seperti abis dibom), terbiasa menggunakan toilet paper, dan ada begitu banyak hal lain yang merubah hidup gue di sini.

Hanya saja lidah ini tetap mencintai masakan Indonesia. Jadi bila ada yang bertanya, "Kangen gak ama Indo?", jawabannya pasti, "Tentu saja.... sama makanannya!". Gak mungkin dong gue bilang kangen ama macet, bau got, nyamuk, dan polusi-nya.... Rasanya jika bisa menikmati makanan Indonesia di tanah air, jalanan macet-pun bisa dimaafkan :)


Percaya Gak Percaya

Banyak pepatah yang mengatakan untuk selalu mendengarkan nasehat orang tua, atau orang yang lebih tua. Hal ini bisa dimengerti, karena biasanya mereka sudah mempunyai pengalaman yang lebih banyak daripada kita; istilahnya sudah banyak makan "asam dan garam dunia" (serta asam dan garam beneran).

Tapi kadang nasehat2 dari mereka yang tua2 bukan hanya sekedar berbau moral, melainkan segala sesuatu yg berbau mistis, seperti:
"KATANYA gak boleh begitu, soalnya BISA BAWA SIAL... "

Apakah kita sebagai generasi yg lebih muda dan lebih modern harus selalu menuruti nasehat mereka... walaupun alasannya tidak logis?

Mungkin kebanyakan akan menjawab "iya" karena tidak mau dicap durhaka.

Sekarang pertanyaan selanjutnya: apakah kita sebagai generasi sekarang akan memberikan nasehat yg sama ke anak2 kita dan generasi selanjutnya walaupun menurut kita sendiri alasannya tidak masuk akal?

Mungkin banyak juga yang akan menjawab "iya" karena mereka merasa lebih nyaman untuk percaya akan hal itu. Percaya gak percaya.. mendingan percaya aja deh... daripada ntar malah kejadian yg ngga2... Dan mitos2 itu pun terus berlanjut turun temurun.

Kadang gak cuma menghindari segala sesuatu yg membawa sial, tapi juga mengejar sesuatu yg bawa hoki (padahal belom tentu). Misalnya orang2 yg berebutan venue untuk menikah atau ngantri operasi caesar supaya bayinya lahir di tanggal2 bagus. Atau ada orang yg terobsesi pada angka tertentu karena membawa untung buat bisnisnya dan menyalahkan angka tertentu apabila membawa malapetaka.

Buat gue pribadi, kadang nasehat2 yang gak masuk akal tersebut lebih terasa seperti upaya orang2 di sekitar untuk "nyumpahin" gue supaya gue jadi sial. Misalnya seorang teman yang bilang ke gue bahwa, "memakai baju pengantin 2 kali itu sama dengan membawa kesialan di rumah tangga berikutnya" akhirnya terdengar seakan2 dia mengatakan, "gue sumpahin elo suatu saat akan bercerai dengan suami lo!"... walaupun gue yakin bukan itu maksud dia yang sebenarnya.

Sama seperti kejadian dimana nyokap mati2an melarang gue dan kakak gue menikah di tahun yang sama. Alasannya karena dulu dia dan adiknya juga menikah di tahun yang sama, lalu beberapa tahun kemudian rumah tangga oom gue hancur berantakan. Padahal yang membuat hancur bukan karena mereka menikah di tahun yang sama, tetapi karena konflik intern yang terjadi di keluarga mereka. Tapi kenapa malah yang membuat trauma justru karena hal2 mistis yang sebenernya gak ada hubungannya?


Memang harus diakui bahwa kita manusia mempunyai keterbatasan2 tertentu. Bahkan teknologi pun sampai saat ini masih belom bisa menjawab semua pertanyaan tentang dunia ini. Mungkin mitos2 itu tercipta untuk menjawab semua pertanyaan2 yg tak terjawab dan memberi alasan2 untuk semua pertanyaan "mengapa begini dan mengapa begitu?".

Bisa juga mitos itu timbul setelah orang2 jaman dahulu menemukan solusi untuk suatu masalah tertentu, dan solusi itu membawa hasil positif (padahal belon tentu hasil positif itu tercapai berkat solusi tersebut). Sebaliknya, mitos itu juga bisa timbul ketika mereka mencari kambing hitam atas semua kesialan yang terjadi.